Beberapa jumlah zikir yang disebut dalam sunnah
Dalam beberapa hadis ada disebutkan tentang berapa jumlah zikir yang dianjurkan untuk dibaca dalam solat, setelah solat ataupun di luar solat. Mulai dari bacaan 1 kali, 3 kali, 7 kali, 10 kali, 33 kali dan lainnya. Berikut ini akan disebutkan jumlah-jumlah yang secara jelas dianjurkan oleh hadis untuk dibaca lebih dari seratus kali. Sekaligus ia bertentangan dengan pendapat sebagian masayarakat yang 'mengharamkan' membaca zikir dengan jumlah tertentu.
Ironisnya ada di antara mereka yang 'mengharamkan membaca zikir dengan jumlah-jumlah yang tertentu, tetapi ada yang mengaku dirinya sebagai ahli hadis. Dikatakan bahawa bilangan terbanyak untuk zikir yang disebutkan dalam sunnah adalah seratus kali sahaja. Oleh itu, jika seseorang membaca zikir tertentu dengan kiraan lebih dari seratus kali maka hukumnya haram. Hasbunallah.
a) Al-Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwa Rasulullah saw bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَتَيْ مَرَّةٍ فِيْ يَوْمٍ لَمْ يَسْبِقْهُ أَحَدٌ كَانَ قَبْلَهُ وَلاَ يُدْرِكُهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ إِلاَّ بِأَفْضَلَ مِنْ عَمَلِهِ" قَالَ الْحَافِظُ الْهَيْثَمِيُّ: رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ: فِيْ كُلِّ يَوْمٍ" وَرِجَالُ أَحْمَدَ ثِقَاتٌ.
“Barang siapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak dua ratus kali dalam sehari, maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih afdlal darinya”. (Al-Hafizh al-Haytsami berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabarani. Hanya saja dalam riwayat ath-Thabarani lafazhnya adalah “Fi Kulli Yaum…”. Dan perawi-perawi riwayat Ahmad adalah orang-orang tsiqat (Orang-orang terpercaya).
b) Al-Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah bahwa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَةَ مَرَّةٍ إِذَا أَصْبَحَ وَمِائَةَ مَرَّةٍ إِذَا أَمْسَى لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِنْه إِلاَّ مَنْ قَالَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ.
“Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak seratus kali di pagi hari, dan seratus kali di sore hari, maka tidak ada seorangpun yang bisa mengunggulinya, kecuali orang yang membaca lebih afdlal darinya”.
c) Dalam riwayat lainnya dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah', Al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَتي مَرَّةٍ لَمْ يُدْرِكْهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ إِلاَّ مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ أَفْضَلَ.
“Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali, maka tidak ada seorangpun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang membaca sama dengan yang dibacanya atau yang lebih afdlal darinya”.
d) Dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah' Al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ فِيْ يَوْمٍ مِائَتَيْ مَرَّةٍ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ لَمْ يَسْبِقْهُ أَحَدٌ كَانَ قَبْلَهُ وَلاَ يُدْرِكُهُ أَحَدٌ كَانَ بَعْدَهُ إِلاَّ مَنْ عَمِلَ أَفْضَلَ مِنْ عَمَلِهِ.
“Barangsiapa membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali dalam sehari, maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih afdal dari amalnya”.
e) Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam sohehnya dari sahabat Abu Hurairah bahawa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ وَحِيْنَ يُمْسِيْ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)
“Barangsiapa membaca di pagi dan petang hari: “Subhanallah Wa Bihamdih” sebanyak seratus kali, maka tidak ada seorangpun di hari kiamat nanti yang bisa mengunggulinya kecuali orang yang membaca seperti yang dibacanya atau lebih banyak darinya”. - HR. Muslim
f) Al-Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari Ummu Hani’ binti Abu Thalib, bahwa ia (Ummu Hani’) berkata: “Suatu ketika aku bertemu dengan Rasulullah. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku ini sudah tua dan mulai lemah, karenanya perintahkan aku dengan suatu amalan yang bisa aku kerjakan sambil duduk”. Kemudian Rasulullah berkata: “Bacalah;
سَبِّحِيْ اللهَ مِائَةَ تَسْبِيْحَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ رَقَبَةٍ تُعْتِقِيْنَهَا مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاحْمَدِيْ اللهَ مِائَةَ تَحْمِيْدَةٍ تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسَرَّجَةً مُلْجَمَةً تَحْمِلِيْنَ عَلَيْهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَكَبِّرِيْ اللهَ مِائَةَ تَكْبِيْرَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ بَدَنَةٍ مُقَلَّدَةً مُتَقَبَّلَةً، وَهَلِّلِيْ اللهَ مِائَةَ تَهْلِيْلَةٍ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، وَلاَ يُرْفَعُ يَوْمَئِذٍ لأَحَدٍ عَمَلٌ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِ مَا أَتَيْتِ بِهِ (حسّن إسنادَه الحافظ الهيثميّ والحافظ المنذريّ في الترغيب والترهيب)
“Bacalah tasbih seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus budak yang engkau merdekakan dari anak keturunan Nabi Isma’il. Bacalah hamdalah seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus ekor kuda berpelana dan dikekang yang membawa perbekalan perang di jalan Allah. Bacalah takbir seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus unta yang engkau sedekahkan dan diterima oleh Allah. Dan bacalah tahlil seratus kali, maka ia akan memenuhi antara langit dan bumi. Dan pada hari itu tidak ada amal seorang-pun yang diunggulkan atas kamu kecuali orang yang melakukan seperti yang engkau lakukan”. - Hadis ini dihasankan oleh al-Hafizh al-Haitsami dan al-Hafizh al-Mundziri dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib.
Faedah Hadis
Hadis-hadis ini menunjukkan ada beberapa jumlah untuk dizikir zikir tertentu; seratus atau dua ratus kali, tanpa melarang jika dilebihkan - bahkan ia dianjurkan. Di akhir hadis tersebut disebutkan bahawa yang bisa menyamai orang-orang yang berzikir dengan bilangan-bilangan tersebut adalah orang yang berzikir dengan jumlah yang sama atau lebih banyak dari pada itu. Ertinya dianjurkan untuk berdzikir dengan jumlah yang lebih banyak dari yang disebutkan. Oleh kerana para ulama kita yang merupakan Ahl al-‘Ilm Wa al-Fahm berkata:
“Adanya hadis-hadis yang dianjur untuk membaca zikir tertentu dengan bilangan tertentu tidak bererti haram jika kita berzikir kurang dari bilangan tersebut atau lebih darinya. Apa yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut adalah untuk menunjukkan keutamaan tertentu, bagi zikir tertentu, dengan jumlah tertentu pula. Sementara itu dari sudut lain banyak sekali ayat dan hadis-hadis yang secara mutlak menganjurkan zikir tanpa menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu. Bahkan banyak ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan anjuran untuk berzikir sebanyak-banyaknya”.
Dengan demikian berzikir dengan jumlah berapa pun adalah diperbolehkan, kerana anjuran untuk memperbanyakkan zikir bersifat umum tanpa dibatasi oleh bilangan tertentu. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (الأحزاب: 41-42)
“Wahai orang-orang beriman, berzikirlah kalian (menyebut nama Allah), dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang” - surah al-Ahzab: 41-42
Dalam ayat lain, Allah berfirman;
(وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمً (الأحزاب: 35
“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. - surah al-Ahzab: 35
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda;
أَكْثِرْ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (رواه ابن أبي شيبة وحسّن إسناده الحافظ ابن حجر)
“Perbanyaklah membaca “La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. - HR Ibn Abi Syaibah dan dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda;
اِسْتَكْثِرُوْا مِنَ البَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ ، قيل :وَمَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: التَّكْبِيْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَالتَّحْمِيْدُ وَالتَّسْبِيْحُ وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (رواه ابن حبان والحاكم وصحّحاه وأحمد وأبو يعلى وإسناده حسن)
“Perbanyaklah oleh kalian dari al-Baqiyat ash-Shalihat! Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah: Apakah al-Baqiyat ash-Shalihat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Takbir, Tahlil, Tahmid, Tasbih dan La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. - HR. Ibn Hibban, al-Hakim dan keduanya menyatakan soheh. Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan.
Kedua ayat dan kedua hadis tersebut menganjurkan untuk diperbanyak zikir tanpa dibatasi dengan bilangan tertentu. Melainkan dengan sebanyak mana yang diinginkan. Banyak - bererti ratusan atau ribuan. Dengan demikian boleh bagi seseorang untuk merutinkan zikir tertentu dengan bilangan tertentu, baik ratusan, ribuan, lebih dari pada itu, atau kurang dari pada itu. Bukankah amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang ditetapkan berterusan meskipun sedikit. Rasulullah bersabda;
وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ (أخرجه مسلم في صحيحه)
“Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus dirutinkan meskipun sedikit”. - HR. Muslim
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahawa dalam berzikir boleh dengan bilangan tertentu seperti jumlah yang disebutkan dalam hadits. Juga boleh berzikir dengan bilangan yang ia tentukan sendiri, yang ia rutinkannya. Boleh juga berzikir sebanyak-banyaknya berapa pun jumlahnya tanpa batas tertentu, atau bahkan tanpa dikira sekalipun.
Berzikir Menggunakan Tasbih
Al-Muhaddits asy-Syekh as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan sebagai berikut:
وَالسُّبْحَةُ تَضْبِطُ الأَعْدَادَ الْمَأْثُوْرَةَ، وَلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ، فَالسُّبْحَةُ مَشْرُوْعَةٌ.
“Tasbih bisa mengira jumlah zikir yang dianjurkan dalam sunah. Oleh kerana alat-alat untuk ibadah memiliki hukum yang sama dengan tujuannya sendiri; iaitu ibadah, maka tasbih juga disyari’atkan (ertinya, kerana zikir disyari’atkan maka alat untuk berzikir-pun mesti disyari’atkan)” [Itqan ash-Shun’ah, h. 45].
Para ulama menyatakan bahwa berzikir dengan menggunakan tasbih hukumnya boleh berdasarkan hadis-hadis berikut;
a) Hadits riwayat Sa’d ibn Abi Waqas bahawa dia bersama Rasulullah melihat seorang perempuan sedang berzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat biji-bijian atau kerikil yang dia digunakan untuk mengira zikirnya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya;
أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذلِكَ وَالْحَمْدُ لله مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذلِكَ (رواه الترمذي وحسّنه وصحّحه ابن حبّان والحاكم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)
“Aku beritahu kamu cara yang lebih mudah dari ini atau lebih afdal. Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl, Subhanallah ‘Adada Ma Baina Dzalika, Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”, (Subhanallah - maha suci Allah- sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua makhluk yang Dia ciptakan). Kemudian baca “Allahu Akbar” seperti itu. Lalu baca “Alhamdulillah” seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah” seperti itu. Serta baca “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah” seperti itu. - HR. at-Tirmidzi dan dinilainya Hasan. Dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan al-Hakim. Serta dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar.
b) Hadits diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah seorang isteri Rasulullah bernama Shafiyyah. Bahawa beliau (Shafiyyah) berkata;
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذَا؟ أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ؟ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِيْ، فَقَالَ: قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ شَىْءٍ (رواه الترمذي والحاكم والطبرانيّ وغيرهم وحسّنه الحافظ ابن حجر في تخريج الأذكار)
“Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku empat ribu biji-bijian yang aku gunakan untuk berzikir. Lalu Rasulullah berkata: Kamu telah bertasbih dengan biji-bijian ini? Maukah kamu aku ajari yang lebih banyak dari ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda: “Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i” - HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya, dan dihasankan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab Nata-ij al-Afkar Fi Takhrij al-Adzkar.
Faedah Hadis
Dalam dua hadis ini Rasulullah mendiamkan, ertinya menyetujui (iqrar), dan tidak mengingkari sahabat yang berzikir dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada yang lebih afdal dari menghitung zikir dengan biji-bijian atau kerikil. Dan ketika Rasulullah menunjukkan kepada sesuatu yang lebih afdal (al-afdlal), hal ini bukan bererti untuk menafikan yang sudah ada (al-mafdlul). Ertinya, yang sudah adapun (al-mafdlul) boleh dilakukan.
Dari iqrar Rasulullah ini dapat diambil dalil bahawa bertasbih dengan kerikil atau biji-bijian ada keutamaan atau faedah pahalanya. Seandainya tidak ada keutamaan, bererti Rasulullah menyetujui ibadah yang sia-sia, yang tidak berpahala, dan jelas hal ini tidak mungkin terjadi. Rasulullah tidak akan mendiamkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
Syekh Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits Sa’d ibn Abi Waqas di atas, dalam kitab Syarh al-Misykat, menuliskan sebagai berikut;
وَهذَا أَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَإِنَّهُ فِيْ مَعْنَاهَا، إِذْ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْمَنْظُوْمَةِ وَالْمَنْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ.
“Ini adalah dasar yang soheh untuk membolehkan penggunaan tasbih, kerana tasbih ini semakna dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Kerana tidak ada bezanya antara yang tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar (tidak teruntai) bahawa setiap itu semua adalah alat untuk menghitung zikir” [Syarh al-Misykat, j. 3, h. 54].
c) Hadits ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda;
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ (رواه الديلميّ في مسند الفردوس)
“Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah tasbih” - HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus
Faedah Hadits:
Hadis ini adalah hadis dho’if. Hadits ini bukan maudlu’ (palsu) seperti yang dikatakan oleh Nashiruddin al-Albani. Hadis ini mendukung dua hadis soheh di atas yang membolehkan kita bertasbih dengan tasbih. Maka hadis ini boleh dimaknai: bahwa “Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah alat zikir yang dinamakan tasbih”.
Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam risalahnya berjudul at-Ta’aqqub al-Hatsits ‘Ala Man Tha’ana Fima Shahha Min al-Hadits, menuliskan sebagai berikut;
ثُمَّ حَاصِلُ بَحْثِنَا أَنَّ الَّذِيْ تُعْطِيْهِ الْقَوَاعِدُ الْحَدِيْثِيَّةُ أَنَّ حَدِيْثَ: نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ ضَعِيْفٌ بِهذَا السَّنَدِ لَكِنَّهُ لاَ يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِهِ، وَإِنَّمَا يُمْنَعُ الْعَمَلُ بِالضَّعِيْفِ – سِوَى الْمَوْضُوْعِ- إِذَا كَانَ شَدِيْدَ الضَّعْفِ وَهُوَ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِهِ كَذَّابٌ، أَوْ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ، أَوْ مَنْ فَحُشَ غَلَطُهُ، فَهذَا السَّنَدُ لاَ يُعْلَمُ فِيْهِ أَحَدٌ مِنْ هؤُلاَءِ، وَلاَ نَصَّ أَحَدٌ مِنَ الْحُفَّاظِ بِهذَا التَّفَرُّدِ فِيْهِ، وَيَنْطَبِقُ عَلَيْهِ الشَّرْطُ الآخَرُ وَهُوَ الدُّخُوْلُ تَحْتَ أَصْلٍ عَامٍّ. وَالأَصْلُ العَامُّ هُنَا مَا يُؤْخَذُ مِنْ حَدِيْثِ التَّسْبِيْحِ بِالْحَصَى مِنْ صِحَّةِ الاسْتِعَانَةِ عَلَى الضَّبْطِ لِلْعَدَدِ بِكُلِّ مَا هُوَ فِيْ مَعْنَاهَا، فَلاَ مَانِعَ مِنْ جِهَةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الْعَمَلِ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ جَوَّزَ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مِنْ غَيْرِ قَيْدٍ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ كَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَأَبِيْ دَاوُدَ وَابْنِ مَهْدِيٍّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ كَمَا فِيْ التَّدْرِيْبِ وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ الاصْطِلاَحِ.
“Kemudian kesimpulan pembahasan kita sesuai kaedah-kaedah ilmu hadis, bahawa hadits “Ni’ma al-Mudzkkir as-Subhah” adalah dho’if dengan sanad ini. Tetapi tidaklah dilarang mengamalkan hadis ini. Melainkan yang dilarang adalah mengamalkan hadits dho'if -selain maudlu’ (palsu)- apabila hadis tersebut sangat lemah (Syadid adl-dho’if). Hadis yang sangat lemah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang kadzdzab (pendusta), atau dituduh berdusta atau sangat parah kesalahannya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan dalam sanad hadis ini tidak terdapat perawi-perawi seperti itu, dan tidak ada seorang ahli hadis pun yang menyatakan adanya tafarrud di dalamnya (hanya diriwayatkan oleh perawi dengan sifat-sifat yang disebutkan).
"Dalam hadits ini juga terdapat syarat lain (untuk dibolehkan mengamalkan hadis dho’if yang bukan maudlu’ dan bukan Syadid adl-dho'if), iaitu masuk dalam dalil umum. Dan dalil umum dalam masalah ini diambil dari hadis bertasbih dengan kerikil dari sisi bahawa dibenarkan menggunakan alat untuk mengira jumlah zikir dengan apapun yang semakna dengan kerikil. Jadi jika dilihat keadaan hadits ini, tidak ada larangan untuk mengamalkannya. Apalagi ada sebagian ahli hadit\s seperti Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak yang membolehkan mengamalkan hadits dho’if tanpa syarat atau ketentuan apapun seperti disebutkan dalam Tadrib ar-Rawi dan buku-buku ilmu Musthalah al-Hadits yang lain” [at-Ta’qqub al-Hatsits, h. 64-65].
Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam 'Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah', hlm. 45-46, menegaskan bahawa ketika orang berzikir menggunakan biji-bijian, kerikil atau tasbih, sesungguhnya dia menghitung zikir dengan jari-jari tangannya juga, kerana dia menggunakan jari-jarinya untuk mengambil dan memegang biji-bijian atau kerikil tersebut.
Ia juga menggunakan jari-jemarinya untuk menggerakkan dan memutar tasbih tersebut. Ini bererti ia memperoleh pahala seperti halnya apabila dia hanya menggunakan jari-jarinya untuk menghitung zikir tersebut. Dengan menghitung zikir dengan biji-bijian, kerikil atau tasbih, bererti masuk dalam kesunnahan berzikir dengan menggunakan jari-jari tangan yang disebutkan dalam hadits Yusairah [Itqan ash-Shun’ah, h. 45-46]. Dalam hadits Yusairah ini Rasulullah bersabda;
عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّقْدِيْسِ، وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ، وَاعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذيّ)
“Bacalah oleh kalian tasbih, tahlil dan taqdis, dan jangan lupa memohon rahmat Allah, dan hitunglah dengan jari-jari tangan kerana nanti di akhirat jari-jari tersebut akan ditanya dan nantinya akan berbicara dan menjawab”. - HR. Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud dan at-Tirmidzi
Antara Menghitung Zikir Dengan Jari Atau Tasbih
Zikir yang dibaca oleh seseorang jika dihitung dengan jari-jari tangan kanan itu lebih afdal. Ia adalah yang dianjurkan oleh Rasulullah (warid) dengan perkataan dan dengan perbuatannya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar bahawa Rasulullah ketika bertasbih baginda menghitungnya dengan jari-jari tangan kanannya - HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya.
Namun demikian, hal ini bukan bererti menghitung zikir dengan sesuatu yang lain itu dikira sebagai tidak boleh, walaupun memang yang lebih afdal ialah menghitung dengan jari-jari tangan. Dengan dalil bahawa suatu ketika Rasulullah mendapati salah seorang isterinya yang bernama Shafiyah meletakkan empat ribu biji kurma di hadapannya yang digunakan untuk menghitung tasbihnya (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya). Dalam hadits ini Rasulullah tidak melarang, serta tidak mengingkari perbuatan Shafiyyah tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada Shafiyah terhadap yang lebih mudah dan lebih afdlal, seperti yang telah kita kemukakan di atas dengan dalil-dalilnya.
Demikian juga ada beberapa sahabat lain yang menghitung bacaan zikirnya dengan biji kurma, kerikil atau benang yang disimpulkan. Di antaranya sahabat Abu Shafiyyah; salah seorang bekas budak Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan kitab al-Jami’ fi al-‘Ilal wa Ma’rifat ar-Rijal. Juga seperti yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah. Termasuk di antaranya sahabat Sa’d ibn Abi Waqas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqaat. Juga di antaranya sahabat Abu Hurairah, seperti yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawaa-id az-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Auliya’, serta diriwayatkan adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’. Kemudian pula di antaranya sahabat Abu ad-Darda’, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan lainnya.
Dari sini para ulama menyimpulkan bahawa hukum menghitung zikir dengan tasbih atau semacamnya adalah boleh, tidak haram, walaupun yang lebih baik (afdhal) menghitungnya dengan jari tangan kanan. Hukum yang serupa dengan ini adalah tentang solat rawatib al-Faraidl (Qabliyyah dan Ba’diyyah). Bahawa yang lebih afdhal solat sunnah rawatib tersebut dilaksanakan di rumah, namun bukan bererti haram jika solat sunnah tersebut dilakukan di mesjid.
Bahkan al-Faqih al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, menuliskan bahawa sebagian ulama telah merinci tentang keutamaan berzikir antara dengan jari-jari atau dengan untaian tasbih. Beliau menuliskan sebagai berikut:
إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالأَنَامِلِ أَفْضَلَ، وَإِلاَّ فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ.
“Jika orang yang berzikir tidak khuatir salah kira maka mengira zikir dengan jari-jari tangan hukumnya lebih afdhal. Namun jika ia khuatir salah hitung maka menghitung dengan tasbih lebih afdhal” [al-Fatwa al-Kubra, j. 1, h. 152].
Amaliah para ulama salaf dan khalaf
Berikut ini sebahagian para ulama alaf dan para ulama khalaf yang berzikir menggunakan kerikil, biji kurma, atau semacam ikatan yang disimpulkan menjadi untaian tasbih. Di antaranya ialah:
i. Shafiyyah. Beliau adalah Umm al-Mu’minin, salah seorang isteri Rasulullah. Dalam mengira zikir beliau menggunakan biji-biji kurma atau kerikil-kerikil seperti yang telah disebutkan. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ath-Thabarani.
ii. Abu Shafiyyah. Beliau adalah salah seorang bekas budak Rasulullah. Dalam menghitung zikirnya beliau menggunakan batu kerikil atau biji kurma. Hadis ini dituturkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah, al-Hafizh Ibn ‘Asa-kir dalam kitab Tarikh Dimasyq, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd dan kitab al-Jami’ Fi al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, al-Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir, al-Imam Ibn Abi Hatim dalam kitab al-Jarh Wa at-Ta’dil, Ibn Sayyid an-Nas dalam kitab ‘Uyun al-Atsar, al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah.
iii. Sa’ad ibn Abi Waqas. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka. Dalam berzikir beliau menggunakan kerikil dan biji-biji kurma. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, dan Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
iv. Abu Hurairah. Sahabat Rasulullah terkemuka ini memiliki benang dengan simpulannya sebanyak dua ribu bundelan. Sebelum tidur beliau berzikir dengan menggunakan alat ini hingga selesai. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliya’, ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawa-id az-Zuhd, adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan Siyar A’lam an-Nubala’. Juga diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berzikir dengan mempergunakan biji kurma atau kerikil sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan, dan Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad.
v. Abu ad-Darda’. Sahabat Rasulullah ini berzikir dengan biji kurma ‘Ajwah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd.
vi. Abu Sa’id al-Khudri. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji-bijian seperti yang dituturkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
vii. Abu Muslim al-Khaulani, sebagaimana dituturkan oleh Abu al-Qasim ath-Thabari.
viii. Al-Imam al-Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah pemimpin kaum sufi (Sayyid ath-Tha’ifah ash-Shufiyyah). Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, dan al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab al-Ghun-yah --Fahrasah Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl--).
ix. Al-Hafizh al-Muhaddits al-Mujtahid Yahya ibn Sa’id al-Qaththan. Beliau adalah ulama terkemuka yang telah mencapai darjat mujtahid mutlak. (w 198 H). dalam berzikir selalu mempergunakan untaian tasbih, seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.
x. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Ahli hadis terkemuka yang digelar dengan “Amir al-Mu’minin Fi al-Hadis”. Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana diituturkan oleh muridnya sendiri, iaitu al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Jawahir Wa ad-Durar.
xi. Abu Sa’id ‘Abd as-Salam ibn Sa’id ibn Hubaib al-Maliki (w 240 H) yang lebih dikenal dengan nama Sahnun. Beliau mengalungkan tasbih di lehernya dan berzikir dengannya, seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’.
xii. Al-Kharsyi al-Maliki (w 1101 H). Penulis Hasyiyah ‘Ala Mukhtashar Khalil, atau yang disebut dengan Hasyiyah al-Kharsyi.
Pendapat sebahagian ulama tentang tasbih
A. Perkataan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab al-Ghun-yah, (Fahrasat Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl). (Kitab berisi tentang guru-guru al-Qadli ‘Iyadl sendiri), meriwayatkan dari salah seorang gurunya, bahAwa guru al-Qadli ‘Iyadl ini berkata:
سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْحَبَّالَ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا الْحَسَنِ بْنَ الْمُرْتَفِقَ الصُّوْفِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرِو بْنَ عَلْوَانَ وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ يَدِهِ سُبْحَةً فَقُلْتُ: يَا أُسْتَاذُ مَعَ عَظِيْمِ إِشَارَتِكَ وَسَنِيِّ عِبَارَتِكَ وَأَنْتَ مَعَ السُّبْحَةِ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ الْجُنَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ بِشْرَ بْنَ الْحَارِثِ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ عَامِرَ بْنَ شُعَيْبٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ الْحَسَنَ بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ الْبِصْرِيَّ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَيَّ، هذَا شَىْءٌ كُنَّا اسْتَعْمَلْنَاهُ فِيْ الْبِدَايَاتِ مَا كُنَّا بِالَّذِيْ نَتْرُكُهُ فِيْ النِّهَايَاتِ، أُحِبُّ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ تَعَالَى بِقَلْبِيْ وَيَدِيْ وَلِسَانِيْ.
“Aku mendengar Abu Ishaq al-Habbal berkata: Aku mendengar Abu al-Hasan ibn al-Murtafiq ash-Shufi berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr ibn ‘Alwan berkata ketika aku melihat tasbih di tangannya dan aku berkata kepadanya: “Wahai Guruku, dengan keagungan isyaratmu dan ketinggian tutur katamu masih juga-kah engkau menggunakan tasbih.”.
Beliau berkata kepadaku: “Demikian ini aku melihat al-Junaid ibn Muhammad dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Junaid berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku Bisyr ibn al-Harits dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka Bisyr berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat ‘Amir ibn Syu’aib dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka ‘Amir berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku; al-Hasan ibn Abu al-Hasan al-Bashri dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka al-Hasan berkata kepadaku: “Wahai anak-ku, tasbih ini adalah alat yang kita pakai saat kita memulai mujahadah kita, dan kita tidak akan pernah meninggalkannya di saat kita telah sampai pada puncak tingkatan kita sekarang. Aku ingin berzikir; menyebut Allah dengan hati, tangan dan lidahku” [al-Ghunyah, h. 180-181].
B. al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitab Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, menuliskan sebagai berikut:
وَالسُّبْحَةُ بِضَمِّ السَّيْنِ وَإِسْكَانِ الْبَاءِ خَرَزٌ مَنْظُوْمَةٌ يُسَبَّحُ بِهَا مَعْرُوْفَةٌ تَعْتَادُهَا أَهْلُ الْخَيْرِ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ التَّسْبِيْحِ.
“Subhah - dengan harakat dlammah pada huruf sin dan ba’ yang di-sukun-kan - adalah sesuatu yang dirangkai dan digunakan untuk berzikir, umum diketahui dan biasa digunakan oleh Ahl al-Khair. Subhah diambil dari kata Tasbih” [Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, j. 3, h. 143-144].
Mari kita renungkan perkataan al-Imam an-Nawawi: “Ta’taduha Ahl al-Khair”, Ertinya; Tasbih adalah alat yang biasa digunakan oleh Ahl al-Khair, yakni biasa digunakan oleh para Atqiya’, orang-orang yang mulia dan orang-orang soleh, serta lainnya. Demikian juga para wali Allah menggunakannya. Apakah layak bila di kemudian hari ada orang berkata: “Menggunakan tasbih adalah kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang musyrik?!”. Hasbunallah.
C. al-‘Allamah asy-Syaikh Ibn ‘Allan dalam Syarh al-Adzkar, menulis;
وَحَاصِلُ ذلِكَ أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا فِيْ أَعْدَادِ الأَذْكَارِ الْكَثِيْرَةِ -الَّتِيْ يُلْهِيْ الاشْتِغَالُ بِهَا عَنْ التَّوَجُّهِ لِلذِّكْرِ- أَفْضَلُ مِنَ الْعَقْدِ بِالأَنَامِلِ وَنَحْوِهِ، وَالْعَقْدُ بِالأَنَامِلِ فِيْمَا لاَ يَحْصُلُ فِيْهِ ذلِكَ سِيَّمَا الأَذْكَارُ عَقِبَ الصَّلاَةِ وَنَحْوُهَا أََفْضَلُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Kesimpulannya, bahawa menggunakan tasbih dalam bilangan atau jumlah dzikir yang banyak - yang jika seseorang sibuk dengan bilangan yang banyak tersebut hingga dia tidak dapat konsentrasi dalam zikir- hal itu lebih afdal daripada menghitung dengan jari-jari tangan dsb. Sedangkan menghitung dengan jari-jari tangan dalam zikir yang tidak mengganggu konsentrasinya, apa lagi seperti zikir selepas solat dsb, maka itu lebih afdal (dari pada menghitung dengan tasbih)” [Syarah al-Adzkar, j. 1, h. 252].
Ada banyak daripada para ulama kita yang membolehkan berzikir dengan mempergunakan tasbih. Bahkan banyak pula di antara mereka yang menulis karangan khusus tentang kebolehan berzikir dengan tasbih ini. Di antaranya adalah: al-Hafizh as-Suyuthi yang telah menulis risalah berjudul al-Minhah Fi as-Subhah, al-Hafizh Ibn Thulun menulis al-Mulhah Fima Warada Fi Ashl as-Subhah, Ibn Hamdun dalam Hasyiyah-nya, Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, al-Muhaddits Muhammad Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i dalam I-qad al-Mashabih Li Masyru’iyyah Ittikhadz al-Masabih, Muhammad Amin ibn ‘Umar yang lebih dikenal dengan nama Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, al-Muhaddits Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq MA’na al-Bid’ah, al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam at-Ta’aqqub al-Hatsits dan Nushrah at-Ta’aqqub, serta masih banyak para ulama lainnya.
Kalangan yang membid’ahkan dan mengharamkan tasbih
Sebagian kalangan yang mengharamkan penggunaan tasbih secara membabi buta kerana kebodohannya berkata: “Memakai tasbih adalah kebiasaan dan lambang orang-orang Nasrani”
Jawapannya:
Hasbunallah. Pernyataan seperti ini melampau dan sangat berlebih-lebihan. Tidak pernah ada seorang ulama pun yang mengatakan seperti ini. Bahkan orang Islam awam sekalipun tidak berani mengatakan demikian. Sebaliknya, seluruh ulama salaf dan ulama khalaf mengatakan boleh berzikir dengan menggunakan tasbih, dan banyak di antara mereka yang mengamalkannya.
Para ulama dari empat mazhab, para ulama hadis, para ahli sufi dan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, semuanya sepakat membolehkan penggunaan tasbih dalam hitungan zikir. Adapun golongan yang menyempal, seperti Wahhabiyyah yang mengharamkan penggunaan tasbih dalam berzikir dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat, adalah faham ekstrim yang baru datang di waktu kebelakangan ini saja. Jelas, faham semacam ini menyalahi apa yang telah diyakini oleh sebilangan besar umat Islam. [Lihat betapa bid'ahnya “ahli bid’ah” terhadap orang-orang yang mempergunakan tasbih, diungkapkan oleh salah seorang pemuka Wahhabiyyah, bernama ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam buku berjudul al-Hadiyyah as-Saniyyah, h. 47]
Padahal al-Imam as-Suyuthi dalam risalah al-Minhah Fi as-Subhah menuliskan sebagai berikut:
وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.
“Tasbih ini telah dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran umat seperti sahabat Abu Hurairah. Beliau punya benang yang memiliki dua ribu bundelan. Beliau tidak beranjak tidur hingga berzikir dengannya sebanyak dua belas ribu kali, seperti diriwayatkan oleh ‘Ikrimah”.
Di halaman lain as-Suyuthi berkata: “Tidak pernah dinukil dari seorangpun, dari ulama salaf dan ulama khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih. Melainkan kebanyakan ulama justru menghitung zikir dengan menggunakan tasbih, dan mereka tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh”.
Dengan demikian, para panutan kita terdahulu seperti yang disinggung oleh al-Imam as-Suyuthi di atas, baik dari kalangan sahabat Nabi, para tabi’in dan generasi-generasi setelah mereka, yang di antara mereka adalah para ulama atqiya’ dan solihin, mereka semua banyak yang mempergunakan tasbih dalam menghitung bilangan zikirnya.
Dari sini kita katakan kepada mereka yang mengharamkan penggunaan tasbih:
“Apakah kamu akan mengatakan bahawa jajaran para ulama salaf dan para ulama khalaf tersebut sebagai orang-orang yang menyerupakan diri dengan kaum Nasrani dan menghidupkan lambang-lambang mereka? Tidakkah kamu punya rasa malu? Siapakah kamu hingga begitu berani berkata seperti itu? Apakah menurut kamu bahawa para ulama yang membolehkan dan mempergunakan tasbih, seperti al-Hasan al-Bashri, al-Junaid al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, Ibn Hajar al-Haitami dan lainnya, bahawa mereka semua tidak memahami agama.
Apakah menurut kamu bahawa mereka tidak mengetahui hadis mana yang soheh dan hadis mana yang dho’if?! Apakah menurut kamu berpendapat bahawa mereka semua tidak bisa membezakan antara sunnah dan bid’ah?! Seharusnya kamu menyedari bahawa sebenarnya kamu sendiri yang layak disebut sebagai “Ahli Bid’ah”.
No comments:
Post a Comment