Thursday, 16 September 2010

Kaum Wahabbiyyah bukan Ahlussunnah

Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abdil Wahhab dan Gerakan Wahhabiyyah


Oleh: Asy_syafiq (TKO)

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Dia banyak menyerukan berbagai ajaran yang dianggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Ajaran tersebut banyak diambil atau tepatnya ia dihidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah padam - di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan orang-orang soleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.

Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga membuat fahaman baru di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam azimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah; mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan azan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini berbeza dengan imam mereka; iaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.

Wahabi telah menguasai seluruh Tanah Arab - ada tolak-ansur agama & politik!

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:

“Pasal; fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, iaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama.

Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk berwaspada dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Dia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya banyak yang berseberangan dengan para ulama agama ini. Bahkan dengan ajarannya itu dia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Dia mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik.

Menurutnya, memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya atau memanggil para wali Allah dan orang-orang soleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Dia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti apabila seseorang berkata: “Ubat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si fulan memberikan manfaat apabila bertawassul dengannya”.

Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang sama sekali tidak menguatkannya. Dia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui mata orang-orang awam sehingga banyak daripada orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang Islam dari para ahli tauhid (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).

Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang diserukannya itu adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan diri daripada syirik.

Dalam keyakinannya bahwa sudah ada sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Dia mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya:

“Dan janganlah engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya:

”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahawa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang soleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at daripada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas.

Dia juga mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang soleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik di saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3). Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).

Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahawa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 6.

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:

“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).

Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:

“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan azan di atas menara. Bahkan disebutkan ada seorang soleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang azan. Suatu ketika setelah mengumandangkan azan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah. Orang soleh buta itu kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya dia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas diperlukan untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).

Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan azan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Syria (Syam). Suatu ketika pengumandang azan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah azan, sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras.

Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…” Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukul. Akhirnya perkara itu dibawa kepada mufti Damaskus pada waktu itu, iaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan diusir dari Syria.

Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:

“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah juma’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya dia selalu mengatakan bahawa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka dia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, iaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya itu selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapaan dan segala apa yang dia perintahkan.

Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam, dengan menambahkan bahawa orang yang tidak mahu mengikutimu engkau anggap bukan seorang muslim”.

Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadhan? Dia menjawab: “Setiap malam Ramadhan Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut? Padahal menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.

Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya dia berhijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian dia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak berganjak dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.

Suatu ketika, salah seorang kepala suatu kabilah yang cukup memiliki kekuatan sehingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahawa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?”

Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa. Mereka telah mengungkapkan bahawa ajaran yang engkau bawa itu adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.

Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ia bersambung (hingga ke Rasulullah) atau terputus?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khaidir”. Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian bererti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).

Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahawa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga ke tahun masa hidup Ibn Taimiyah, iaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijrah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, iaitu di abad tujuh dan delapan hijrah dengan masa hidupnya sendiri iaitu pada abad dua belas hijriah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Dia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid.

Dan dia menganggap bahawa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwahnya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah-ranah. Dia beranggapan hingga datang abad dua belas hijriah, hanya dirinya seorang sahaja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah. Dakwaan Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh dan tersangat aneh. Bagaimana dia dengan cukup berani mengkafirkan majoriti umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara dia beranggapan hanya pengikutnya sendiri sahaja yang benar-benar dalam Islam?

Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan pusat gerakannya di saat itu, majoriti penduduk wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan fahahamannya. Hanya sahaja memang pada saat itu banyak orang di wilayah tersebut yang takut terhadapnya, oleh kerana prilakunya yang kejam dan tanpa segan-silu membunuh orang-orang yang tidak mahu mengikuti ajakannya.

Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah dia mengetahui hakikat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, dia kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakikat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut dia mengatakan:

سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي

“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.

Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapat tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya.

Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh orang-orang yang tidak sefaham dengannya, merampas harta-benda orang lain, mengkafirkan majoriti umat Islam. Maka dia kemudian berasa ralat dengan segala pujian terhadapnya yang telah ditulis dalam bait-bait syairnya yang terdahulu, yang lalu kemudian dia kembali mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai berikut:

رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي

ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي

لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي

وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي

وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ

ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ

“Aku ralat dengan ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.

“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”


“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasihat kita juga merupakan kesia-siaan, kerana sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakikat sebenar”.

“Telah datang kepada kami “syeikh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakikat keadaannya dalam apa yang dia tampakkan”.


“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah dia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya dia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi -selain pengikutnya sendiri!”.


“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang labah-labah yang tidak memiliki kekuatan”.

Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekikat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah pelbagai sikap ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, iaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab juga telah menuliskan karya bantahan terhadapnya. Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, iaitu Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijrah, telah menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab Hanbali. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; iaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:

“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Kerana Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat bahawa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sangat besar. Kepada banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: "Kalian akan melihat dari Muhammad ini suatu kejahatan...”.

Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.

Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syeikh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari sepak terajang Muhammad. Dia banyak membantah saudaranya itu dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits kerana Muhammad tidak mahu menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang dia terima hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang dia selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama sekali tidak pun dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman menamakan karya bantahan kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.

Syeikh Sulaiman telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut sangat menghkhuatirkan siapa pun. Muhammad ini, apabila dia ditentang oleh seseorang dan dia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang itu di tempat tidurnya. Atau dia membunuhnya dengan cara membokongnya di tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini kerana Muhammad memandang bahawa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi kafir dan halal darahnya.

Disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh sesiapa pun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang di tangannya ke masjid di saat Syeikh Sulaiman sedang bersendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syeikh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).

Dalam tulisan Syeikh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa Syeikh Abdul Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad, kerana tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, ini berertinya bahawa dia sama sekali bukan seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli Hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal tidak lain adalah kerana ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syeikh al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyedari bahawa tidak ada seorang pun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijrah yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan menyebutkan bahawa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli Hadits!

Syeikh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr menuliskan sebagai berikut:

“Penjelasan; Perihal para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahawa mereka adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, ertinya kaum Khawarij tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij adalah siapa pun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahawa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, iaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga orang-orang kafir.

Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita sekarang, iaitu para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara sesiapa pun yang menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakkan keyakinan itu mereka menghalalkan membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh yang demikian maka banyak di antara ulama Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, uaitu pada tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga hijrah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).

Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syeykh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam takliknya terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:

“Menurut satu pendapat bahawa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, kerana mereka adalah kaum yang banyak merpsakkan takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahawa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh syaitan sehingga lalai daripada mengenal Allah. Mereka adalah golongan syaitan, dan sesungguhnya golongan syaitan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86).



LARANGAN JELAS OLEH WAHABBI
Siradjudin Abbas menulis susur galur fahaman Wahabi dalam buku '40 Masalah Ugama' . Beliau adalah kiyai, abuya , ulama besar di Indonesia. Konsep-konsep Moden Fahaman Wahabi yang dibawa oleh Muhammad 'Abdul wahab adalah seperti berikut :

Dalam mempelajari ilmu Usuluddin (Tauhid) harus menganut fahaman Ibnu Taimiyah.

Di dalam Fiqh diharuskan menampal-nampal mazhab (Talfiq).

Mengambil sumber Al-Quran dan Hadis yang kuat sahaja tanpa ijma ulama dan qias.

Melarang keras umat Islam berdoa dengan tawassul (perantaraan).

Melarang menziarahi kubur, walaupun maqam Nabi. Ulama Wahabi membenarkan orang yang mengerjakan haji pergi ke Masjid Nabi di Madinah dengan niat menziarahi masjid, bukan menziarahi maqam.

Menghancurkan tugu-tugu peringatan/monumen kerana ini semua menjadikan orang musyrik. Bangunan besar yang dibangunkan di atas tempat Nabi di Suq al Leil pun telah lama diruntuhkan.

Melarang membaca-baca qasidah yang memuji-muji Nabi seperti qasidah, berzanji, burdah, kenduri-kendara,tahlil dan sebagainya.

Melarangkan umat Islam merayakan dan memperingati Maulidur Rasul, Israk Mikraj dan semua perayaan hari kebesaran Islam yang lain, kecuali Hari Raya Aidilfitri dan Hari Raya Aidil Adha.

Melarang belajar tentang 'sifat dua puluh', 'Kifayatul Awam", "Sanusi', "Juaharatut Tauhid", "Husun Hamadiyah" dan lain-lain yang serupa itu.

Fahaman Asy'ari, iaitu fahaman kaum Ahlul Sunnah wal-Jamaah hendaklah dibuang jauh-jauh.

Tidak boleh membaca kitab "Dalailul Khairat", "Burdah" dan lain-lain wirid-wirid yang memuji-muji Nabi s.a.w

Tidak boleh melagukan lafaz Quran, umpamanya dengan lagu fuqara, masri dan lain-lain. Quran harus dibaca lurus saja.

Azan tidak boleh berlagu.

Membaca zikir "La illa ha illallah" beramai-ramai adalah dilarang sama sekali.

Imam tidak membaca "Bismillah" dalam Solat sedangkan ia adalah sebahagian daripada surah berkenaan.

Amal-amal tariqat, umpamanya tariqat Naqsyabandi, tariqat Qadiri, tariqat Sazali, tariqat Saman dan lain-lain dilarang keras.

Wirid, berdoa secara beramai-ramai selepas solat berjemaah juga dilarang dengan keras. Ini kerana mereka berpendapat ia adalah amalan peribadi.



Peringatan:
Satu simposium yang diadakan di Universiti al-Azhar Mesir, pada hari Sabtu, 19/6/2010, dengan tema:
الوهابية خطر على الإسلام‬  iaitu 'Kaum Wahabi sebagai Bahaya Besar Terhadap Islam'.

Ketetapan yang dicapai oleh Masyayikh al-Azhar Cairo, Mesir mengatakan bahawa: "Gerakan Wahabi adalah bahaya paling besar terhadap orang-orang Islam, mereka tidak lebih buruk dari kaum zionis kerana memiliki sifat dan pendekatan yang sama; ekstrim, keras, dan selalu mengkafirkan sesiapa jua yang tidak sependapat dengan mereka".

Nota: 
Ini penting sebagai menyatakan tentang apa sebenarnya Wahabi? Jika ayah dan saudaranya sendiri tidak bersetuju dengan cara dan sikapnya, apa erti ajaran tersebut? Ustaz muda yang kembali dari Arab Saudi menjadi penyebar ajaran ini di negara kita. Silapnya kerana ibu-bapa menyangka segala yang Islam di Arab Saudi itu adalah benar! Berhati-hatilah.

No comments:

Post a Comment